JAKARTA - Materi pendidikan Pancasila sebaiknya lebih eksplisit tertera dalam kurikulum mata Pelajaran
Kewarganegaraan (PKN). Pasalnya, siswa dinilai belum terlalu memahami nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya tersirat dalam beberapa mata pelajaran.
Demikian diungkapkan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Djalal, saat ditemui Media Indonesia di kantornya, di Jakarta, Jumat (27/5).
"PKN itu banyak yang teoritis, mungkin. Itu sudah kita lihat. Isi dari dalam PKN
itu mungkin tidak menyebut secara eksplisit (tentang Pancasila). Itu sedang kita evaluasi saat ini," ujarnya.
Pendapat ini ia lontarkan terkait tuntutan beberapa pihak yang menginginkan adanya pelajaran Pancasila dalam kurikulum. Terutama, lanjutnya, dalam bentuk satu mata pelajaran yang terpisah dari induknya selama ini, yaitu PKN. Tuntutan tersebut, terkait semakin memudarnya nilai-nilai kebangsaan pada diri pelajar.
Namun demikian, Fasli menyangkal bila kurikulum, terutama PKN sama sekali tidak memuat Pancasila. Menurutnya, bentuk pelajaran PKN itu sudah berlaku secara internasional dalam bentuk civic education sebagai metode penanaman nilai-nilai kebangsaan.
"Kalau ternyata tidak mudah dipahami orang, karena sudah (implisit) masuk hal-hal (mata pelajaran) yang lain, maka kita akan memastikan apakah Pancasila termasuk di dalamnya (secara eksplisit)," kata pria asli Minang itu.
Selama ini, sambung Fasli, pendidikan dan penanaman nilai-nilai Pancasila sebetulnya sudah tersebar di semua pelajaran dalam kurikulum dan kehidupan sosial. Penanaman nilai sila pertama dan kedua, lanjutnya, ada pada pelajaran agama dan sosiologi.
Sila ke-3, sambungnya, ada pada upaya untuk menjaga persatuan indonesia, melalui penanaman empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Sila ke-4, justru menurutnya sangat dijamin melalui, misalnya, kebebasan berdemonstrasi.
"Yang agak lemah kemanusiaan adil dan beradab. Disamping diadakan, ada roll modelnya. Penting juga ada setting tempatnya diajarkan. Tapi itu kembali lagi pada umum, tidak bisa hanya di sekolah saja," tandasnya.
Baginya, review standar kompetensi lulusan penting dilakukan untuk melihat sejauh mana nilai-nilai Pancasila yang dipahami dipraktekkan oleh peserta didik. Hal inilah yang menurutnya akan direvisi dan diperkaya kembali, kalau perlu, dalam pelajaran PKN.
Menurut Fasli, sebetulnya kurangnya pemahaman nilai Pancasila itu masalah peraturan perundangan, bukan dari sisi apakah itu diajarkan atau tidak.

Demikian diungkapkan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Djalal, saat ditemui Media Indonesia di kantornya, di Jakarta, Jumat (27/5).
"PKN itu banyak yang teoritis, mungkin. Itu sudah kita lihat. Isi dari dalam PKN
itu mungkin tidak menyebut secara eksplisit (tentang Pancasila). Itu sedang kita evaluasi saat ini," ujarnya.
Pendapat ini ia lontarkan terkait tuntutan beberapa pihak yang menginginkan adanya pelajaran Pancasila dalam kurikulum. Terutama, lanjutnya, dalam bentuk satu mata pelajaran yang terpisah dari induknya selama ini, yaitu PKN. Tuntutan tersebut, terkait semakin memudarnya nilai-nilai kebangsaan pada diri pelajar.
Namun demikian, Fasli menyangkal bila kurikulum, terutama PKN sama sekali tidak memuat Pancasila. Menurutnya, bentuk pelajaran PKN itu sudah berlaku secara internasional dalam bentuk civic education sebagai metode penanaman nilai-nilai kebangsaan.
"Kalau ternyata tidak mudah dipahami orang, karena sudah (implisit) masuk hal-hal (mata pelajaran) yang lain, maka kita akan memastikan apakah Pancasila termasuk di dalamnya (secara eksplisit)," kata pria asli Minang itu.
Selama ini, sambung Fasli, pendidikan dan penanaman nilai-nilai Pancasila sebetulnya sudah tersebar di semua pelajaran dalam kurikulum dan kehidupan sosial. Penanaman nilai sila pertama dan kedua, lanjutnya, ada pada pelajaran agama dan sosiologi.
Sila ke-3, sambungnya, ada pada upaya untuk menjaga persatuan indonesia, melalui penanaman empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Sila ke-4, justru menurutnya sangat dijamin melalui, misalnya, kebebasan berdemonstrasi.
"Yang agak lemah kemanusiaan adil dan beradab. Disamping diadakan, ada roll modelnya. Penting juga ada setting tempatnya diajarkan. Tapi itu kembali lagi pada umum, tidak bisa hanya di sekolah saja," tandasnya.
Baginya, review standar kompetensi lulusan penting dilakukan untuk melihat sejauh mana nilai-nilai Pancasila yang dipahami dipraktekkan oleh peserta didik. Hal inilah yang menurutnya akan direvisi dan diperkaya kembali, kalau perlu, dalam pelajaran PKN.
Menurut Fasli, sebetulnya kurangnya pemahaman nilai Pancasila itu masalah peraturan perundangan, bukan dari sisi apakah itu diajarkan atau tidak.
Dre@ming Post______
sumber : MICOM